Friday, September 19

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

Jumat, 19 September 2008

Disuatu tengah malam yang melelahkan tapi kupaksakan untuk menemani dua orang teman makan di sebuah warung makanan jepang pinggir jalan:

“Menurut lu, apa kekurangan dan apa kelebihan lu, Pink?”

“Ummmm…kayaknya kelebihan gw, selalu berkelebihan. Dan kekurangannya, gw nggak pernah kekurangan.”

Aku menangkap tatapan si penanya yang tampak sekejap tertegun. Ini adalah pertanyaan wawancara yang direkam untuk bahan skripsinya. Temannya yang satu sudah selesai diwawancara. Tanpa rasa ingin tahu yang besar untuk bertanya apa materi skripsinya, aku juga mengiyakan saja untuk ikut diwawancara. Toh dia berjanji kalau pertanyaannya simpel-simpel saja.

Sebenernya, pikiranku juga sempet sepersekian detik terhenti dengan jawabanku sendiri barusan. Darimana datangnya jawaban itu? Itu keluar begitu saja. Tapi sepersekian detik kemudian setelah menjawab, rasanya jawaban itu memang harus dengan sangat serius aku pikirkan.

Lalu aku meneruskan lagi wawancara itu melewati beberapa pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan seputar apa yang aku pikirkan tentang diri sendiri dan tentang hidup. Rasanya seperti mengikuti semacam tes kepribadian untuk wawancara kerja atau pemilihan putri-putrian. Tapi setelah selesai dengan semua pertanyaan itu, aku tetap tak bisa selesai memikirkan pertanyaan dan jawaban tentang kelebihan dan kekurangan itu.

Apa yang membuat tatapan si penanya tertegun? Apa yang ada di pikirannya? Dan yang paling mengganggu, darimana datangnya kalimat jawaban itu? Dari mata jatuh ke bibir??????? Karena jawaban itu tidak pernah terpikirkan apalagi sampai bisa aku ucapkan!!!

Benarkah aku berkelebihan? Benarkah aku tidak pernah berkekurangan? Kepala ini terus berputar ke masa lalu, masa sekarang, dan kemungkinan-kemungkinan masa depan sambil tetap berusaha fokus menimpali obrolan dengan teman di depanku ini. Hingga akhirnya…

“Udah biarin gw yang bayar, Pink…”
“Serius lu?”
“Iya gapapa, lagian lu cuma teh manis panas doang nemenin gue makan. And thanks buat interview-nya juga.”
“Asik, thanks ya.”

Salahsatu bukti bahwa aku berkelebihan???? Berkelebihan dengan teman-teman yang baik seperti ini dalam hidupku. Dan bukan hanya soal traktir. Berapa banyak yang sering membuat aku tertawa, ikutan senang saat aku senang, ikutan sedih saat aku sedih, ikutan marah-malah kadang dengan porsi yang jauh berlebihan dari akunya sendiri-saat aku sedang marah sama seseorang, yang memberi side job-side job tambahan, yang mengenalkan dengan teman-teman baru, yang mengajarkan permainan-permainan tolol baru, yang tiba-tiba menelpon say hello di saat aku baru saja memikirkan dan merindukan mereka, yang tiba-tiba ngasih inspirasi bahan siaran dengan curhatan mereka, atau bahkan menginspirasi jalan hidupku dengan prestasi mereka? Ya, ternyata aku berkelebihan.

Benarkah aku tak pernah berkekurangan????? Aku memikirkan ini lama sekali. Apakah masih kurang uang? kurang rumah? kurang mobil? kurang langsing? Kurang gendut? kurang mulus? kurang cantik? kurang gaya? kurang liburan? kurang gebetan? kurang panjang rambutnya? kurang prestasi? kurang pintar? kurang terkenal?

Kalaupun benar semua di atas itu statusnya kurang….thanks God, kenapa masih banyak yang mau berteman? Kalau saja aku tak kekurangan semua hal di atas itu, mungkin malah aku tak punya teman?

Wah, darimana pun datangnya kalimat itu. Aku harus berterima kasih pada yang mengucapkannya. Bukan, pastinya kalimat itu bukan dari aku.

Thanks Edric untuk pertanyaan itu dalam wawancara skripsi lu. Kalau lu ngga pernah nanya, “siapapun itu” tidak akan pernah menjawabnya. Jawaban atas semua pertanyaanku tentang penyebab lelahku malam itu. Malam dimana seharusnya aku tidak perlu lelah, begitu juga dengan malam-malam berikutnya. Karena ternyata aku berkelebihan, dan tak pernah kekurangan.